Headlines News :

    ........................................................................

    ........................................................................

    ........................................................................

    Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto

    Mobilisasi Aksi Menuntut Aliansi Rakyat Jawa Barat (Aljabar). Hari Tani Nasional; Senin, 24 September 2012

    ALIANSI RAKYAT JAWA BARAT (AL JABAR): AGRA Jabar, DTI, STN-PRM, WALHI Jabar, KPA, SPBS, FMN, AMBU, Perkumpulan Inisiatif, PSDK, UKSK, LBH Bandung, FK3I, FDA, SHI, FPB, GMNI Sumedang, Kelompok Tani Pangkalan, ASAS, KWT Barokah, Baraya Tani, MPSA, SOS, Kelompok Tani Tumaritis, SPHP, SHI Jabar. 

     “Pertahankan Tanah Walau Hanya Sejengkal” 
    Bandung, Senin, 24 September 2012

    Pernyataan Bersama Hajat Hari Raya Rakyat Tani Jawa Barat “Sepuluh Perintah Rakyat Jawa Barat”


    "Barangsiapa memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun
     maka ia lebih berhak dengan tanah tersebut ( HR Bukhari).
    "Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu miliknya." (HR Tirmidzi)

    Jawa Barat memiliki luas total sekitar 4,4 Juta hektar merupakan wilayah agraris yang berkontribusi dalam memasok kebutuhan pangan di Indonesia hingga negara lain di dunia. Sumber-sumber agraria merupakan penopang dan kekuatan utama ekonomi Jawa Barat. Sebagai wilayah dengan kebudayaan agraris, keberadaan petani, buruh tani serta nelayan di perdesaan merupakan kekuatan utama dalam mendukung kehidupan dan keberlanjutan kehidupan rakyat Jawa Barat dan rakyat Indonesia pada umumnya.

    Ironisnya, meskipun di wilayah agraris, kemiskinan petani, buruh tani dan nelayan di wilayah perdesaan di Jawa Barat masih dialami secara nyata dan belum tertangani dengan baik. Sekitar 11 Juta orang atau 25% dari total penduduk Jawa Barat masih berada dalam garis kemiskinan.  Sekitar 80 % rakyat miskin berada di wilayah perdesaan, padahal wilayah perdesaan merupakan  kekuatan nyata ekonomi negara.

    Ada beberapa permasalahan pokok penyebab kemiskinan di perdesaan diantaranya pertama, ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber agraria termasuk rendahnya aset dan akses rakyat (petani dan buruh tani) terhadap lahan tani sebagai sumber kehidupan. Dari sisi aset, rata-rata penguasan lahan tanah di Jawa Barat hanya 0,2-03 ha/kk. Bahkan sebagian besar petani yang berada di sekitar kawasan kehutanan dan perkebunan belum bisa mengelola dengan jaminan perlindungan yang kuat dari negara. Dari sisi akses, petani belum memiliki akses memadai atas modal, teknologi, sarana dan infrastruktur yang mendukung pertanian baik di kawasan maupun luar kawasan negara.

    Dominasi penguasaan dan pengelolaan lahan di kawasan kehutanan dan perkebunan yang dikelola perusahaan negara seperti PTPN VIII, Perum Perhutani, Perusahaan Swasta lainnya telah ikut andil menghilangkan akses rakyat tani terhadap lahan. Di Jawa Barat, di luar kawasan hutan konservasi dan lindung, ada sekitar 684.423 Ha kawasan hutan dikuasai Perum Perhutani. Sekitar217.380,58 hektar kawasan perkebunan di 197 lokasi Perkebunan dikuasai oleh 137 Badan Usaha Perkebunan diantaranya Perkebunan Besar Negara (PTPN VIII); Perkebunan Swasta Nasional (129 perusahaan); Perkebunan Swasta Asing (4 perusahaan); Perkebunan Besar BUMD dan Perkebunan Koperasi (2 koperasi). Padahal, sekitar puluhan ribu hektar lahan tanah di kawasan kehutanan dan perkebunan banyak yang ditelantarkan dan dibiarkan. Sementara, para petani yang berjuang untuk mendapatkan lahan garapan kemudian disengketakan dan dikriminalinasi bahkan berujung tahanan penjara dan kematian.

    Kedua, konversi lahan pertanian pun semakin meluas di kawasan pertanian, kehutanan dan perkebunan oleh aktivitas pembangunan seperti pertambangan, pembuatan jalan tol, bandara, waduk, pabrik-industri dan infrastruktur fisik lainnya. Kegiatan pembangunan fisik dan pertambangan dipastikan akan berdampak pada hilangnya akses rakyat tani pada lahan taninya. Ketiga, permasalahan kualitas lahan pertanian yang semakin rusak oleh pencemaran limbah industri dan hilangnya produktifitas lahan akibat bencana kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan. Di tahun 2012 saja, sekitar 98.000 Ha lahan pertanian padi terancam gagal panen. Keempat, rendahnya jaminan perlindungan dan keamanan sosial bagi para petani dan buruh tani serta rendahnya jaminan perlindungan ekologis bagi lahan pertanian produktif.

    Dari fakta di atas, akar permasalahan pokok adalah gagalnya negara menjalankan mandat konstitusi untuk memakmurkan rakyat tani dan negara lebih memihak kepada pemodal atau investor asing dalam mengelola kekayaan agraris di Jawa Barat.

    Berdasarkan situasi ini maka Aliansi Rakyat Jawa Barat (Al JABAR) yang terdiri dari berbagai Serikat Tani, Akademisi,  dan NGO yang ada di Jawa Barat menyatakan sikap :

    1. Mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat Berperan aktif dalam memajukan kebudayaan agraris di Tatar Parahyangan
    2. Mendesak pemerintah Jawa Barat mengeluarkan rekomendasi penetapan Peraturan Pemerintah  tentang Reforma Agraria kepada Pemerintah Pusat
    3. Mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk berperan aktif dalam penyelesaian sengketa dan konflik agraria dalam: a). Kasus Pembangunan Waduk Jatigede, b). Sengketa dan Konflik Agraria PT. Agro Jabar dengan Rakyat Pangalengan, c). Penyelesian Sengketa dan Konflik Agraria antara Kehutanan dan masyarakat petani Angkola, d). Korban Pembangunan Jalan Tol Cisumdawu, sengketa agraria di KBU, dan wilayah konflik lainnya di Jawa Barat.
    4. Mendesak Pemerintah Jawa Barat untuk menjalankan mandat Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah-tanah terlantar di Jawa Barat
    5. Melindungi kepentingan kaum tani dari tindak pencemaran lingkungan oleh industri dan pertambangan
    6. Mendesak Pemerintah Jawa Barat bersungguh-sungguh untuk mengalokasikan dan merealisasikan kebijakan dan program pendukung berupa: anggaran, teknologi, pasar, irigasi, pengembangan organisasi petani.
    7. Mendesak Pemerintah Jawa Barat bersungguh-sungguh untuk menyelamatkan lahan-lahan pertanian produktif dari proses alih fungsi lahan
    8. Mendesak Pemerintah Jawa Barat bersungguh-sungguh untuk melindungi petani terhadap sumber air
    9. Mendesak Pemerintah Jawa Barat untuk mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah pusat agar menerbitkan kebijakan proteksi terhadap produk-produk pertanian bangsa Indonesia
    10. Mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersungguh-sungguh untuk melindungi kaum tani dari tindak kriminalisasi pada sengketa dan konflik agraria.



    Bandung, Senin, 24 September 2012

    ALIANSI RAKYAT JAWA BARAT (AL JABAR)
    -AGRA Jabar, DTI, STN-PRM, WALHI Jabar, KPA, SPBS, FMN, AMBU, Perkumpulan Inisiatif, PSDK, UKSK, LBH Bandung, FK3I, FDA, SHI, FPB, GMNI Sumedang, Kelompok Tani Pangkalan, ASAS, KWT Barokah, Baraya Tani, MPSA, SOS, Kelompok Tani Tumaritis, SPHP, SHI Jabar.

    “Pertahankan Tanah Walau Hanya Sejengkal”


    surat kabar Reforma Agraria. Edisi September Thn. II 2012

    Kertas Posisi Hari Raya Tani 24 September 2012

    Krisis Agraria di Provinsi Jawa Barat: Semakin Lemahnya Perlindungan terhadap Petani

    Lemahnya peran pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan alih fungsi lahan sawah dan hutan, alih pekerjaan petani, rendahnya tingkat penyelesaian sengketa lahan pertanian dan kehutanan serta tidaknya adanya skema jaminan kesejahteraan bagi petani menjadi penyebab utama tingginya angka kemiskinan masyarakat pedesaan di Provinsi Jawa Barat.

    Enam Dekade Ketimpangan Masalah Penguasaan tanah di Indonesia

    Reforma Agraria Semakin Dibutuhkan Namun Diabaikan

     Oleh: Galih Andreant

    Pemerintah melalui menteri Pertanian (Mentan) Siswono pada kamis 20 September lalu menyampaikan keputusan untuk mengimpor beras sebanyak 1 juta ton demi menambah cadangan beras nasional, keputusuan diambil setelah Bulog memperkirakan stok beras di gudang Bulog pada akhir tahun tersisa 1 juta ton (kompas-cetak 21 September 2012). Keputusan tersebut membawa alur pikir ke arah beberapa pertanyaan kritis, apakah kebijakan pemerintah berupa impor bahan pangan adalah pra-kondisi bagi pembentukan areal pangan skala luas dengan konsentrasi pada segelintir pemilik lahan atau korporasi? Ataukah pemerintah seolah-olah tidak memahami bahwasannya akar persoalan pembangunan sektor pertanian kita masih dalam kubangan ketimpangan struktur penguasaan lahan yang semakin tinggi sehingga kebijakan impor hanya merupakan kebijakan tambal sulam tanpa mengobati jantung permasalahan? Ataukah pembangunan sektor pertanian telah melupakan aktor utama atau soko guru kedaulatan pangan, yaitu petani yang sebagian besar adalah petani gurem dan buruh tani yang semakin tidak berdaya menghadapi gempuran tingginya biaya produksi pertanian. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diuji secara materil dilihat dari tindak-tanduk kebijaksanaan pemerintah yang cenderung semakin melupakan unsur “manusia” yang dalam hal ini adalah masyarakat pedesaan berupa petani tak bertanah, petani gurem dan buruh tani.
     
    Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
    Copyright © 2011. Reforma Agraria - All Rights Reserved
    Template Created by Creating Website Published by Mas Template
    Proudly powered by Blogger