Oleh: Galih Andreant
Pemerintah melalui menteri Pertanian (Mentan) Siswono pada
kamis 20 September lalu menyampaikan keputusan untuk mengimpor beras
sebanyak 1 juta ton demi menambah cadangan beras nasional, keputusuan
diambil setelah Bulog memperkirakan stok beras di gudang Bulog pada
akhir tahun tersisa 1 juta ton (kompas-cetak 21 September 2012).
Keputusan tersebut membawa alur pikir ke arah beberapa pertanyaan
kritis, apakah kebijakan pemerintah berupa impor bahan pangan adalah
pra-kondisi bagi pembentukan areal pangan skala luas dengan konsentrasi
pada segelintir pemilik lahan atau korporasi? Ataukah pemerintah
seolah-olah tidak memahami bahwasannya akar persoalan pembangunan sektor
pertanian kita masih dalam kubangan ketimpangan struktur penguasaan
lahan yang semakin tinggi sehingga kebijakan impor hanya merupakan
kebijakan tambal sulam tanpa mengobati jantung permasalahan? Ataukah
pembangunan sektor pertanian telah melupakan aktor utama atau soko guru
kedaulatan pangan, yaitu petani yang sebagian besar adalah petani gurem
dan buruh tani yang semakin tidak berdaya menghadapi gempuran tingginya
biaya produksi pertanian. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diuji
secara materil dilihat dari tindak-tanduk kebijaksanaan pemerintah yang
cenderung semakin melupakan unsur “manusia” yang dalam hal ini adalah
masyarakat pedesaan berupa petani tak bertanah, petani gurem dan buruh
tani.
Menurut BPS dari hasil sensus pertanian yang paling mutakhir pada
tahun 2003 menunjukan bahwa dalam jangka 5 tahun sejak 1998 terjadi
pengalihan fungsi sekitar 65.000 Ha lahan sawah, dimana 80% di antaranya
berubah menjadi lahan pertanian non-sawah dan sisanya berubah fungsi
menjadi untuk kegiatan non-pertanian. Sementara lahan pertanian
non-sawah yang berubah fungsi kira-kira 42.000 Ha, dimana 71% berubah
fungsi untuk kegiatan non-pertanian. Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa konversi lahan telah menggugurkan prioritas pembangunan dengan tak
lagi berpijak pada potensi agraris yaitu pertanian. Padahal seyogyanya
pembangunan sektor pangan adalah yang utama demi keberlanjutan peradaban
sebuah bangsa.
Dalam buku “Enam Dekade Ketimpangan” karya Dianto Bachriadi dan
Gunawan Wiradi diungkapkan bahwa dari tahun 1963 hingga 2003, rata-rata
penguasaan lahan oleh petani dari satu periode sensus ke periode sensus
berikutnya relatif sangat kecil yaitu antara 0,81 sampai 1,05 Ha.
Sementara di Jawa, pulau yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi,
rata-rata penguasaan lahan oleh petani selama lebih dari 40 tahun
sekitar 0,45 Ha. Terjadinya juga peningkatan jumlah petani miskin yang
menguasai tanah kurang dari 0,5 Ha di seluruh daerah yang menjadikan
kelas petani gurem sebagai kelompok mayoritas rumah tangga petani di
Indonesia selama 40 tahun, sejak tahun 60-an hingga awal 2000-an.
Sejalan dengan itu data Profil Kemiskinan di Indonesia (BPS) menerangkan
bahwa Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02
juta orang, sebagian besar penduduk miskin berada pada daerah pedesaan
yaitu sebesar 64,2%. Hal ini menunjukan bahwa kemiskinan petani
berbanding lurus dengan minimnya akses petani terhadap tanah. Jika hal
ini dibiarkan maka petani akan menjadi profesi yang paling tidak
menjanjikan dan terancamnya eksistensi profesi petani di dalam negeri
karena identik dengan kemelaratan.
Ketimpangan struktur agraria yang mendorong kemiskinan masyarakat
pedesaan tersebut bukannya menjadi daya pendorong kuat urgensi
pelaksanaan reforma agraria di tanah air. Dengan “peluru” ancaman krisis
pangan, pemerintah justru memberikan solusi instan berupa impor beras.
Dari Laporan Bulanan data sosial ekonomi BPS edisi MEI 2012 didapatkan
nilai impor beras sepanjang 2011 mencapai 2.75 ton atau naik 2.06 juta
ton dari tahun 2010, sementara dari bulan januari hingga maret angka
impor beras sudah mencapai 770.294 ton belum ditambah rencana impor
beras sebanyak 1 juta ton yang baru diumumkan oleh mentan 20 september
lalu. Dari data tersebut dapat diindikasikan bahwa cara-cara pemerintah
dalam membangun sektor pertanian masih berprioritas pada cara reaksioner
yaitu impor, Impor beras adalah upaya menempatkan wacana krisis pangan
kepada peluang bagi masuknya impor via para pencari untung yaitu
pedagang dan birokrat yang menyemai untung dari adanya mekanisme impor
beras.
Tak cukup sampai di situ, pelaksanaan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy)
dapat dijadikan contoh bahwa terjadi pemutusan hubungan erat antara
rakyat dengan tanahnya dan menggiring pada penghengkangan petani tak
bertanah, petani gurem dan buruh tani dari karakter agraris menuju
penyediaan tenaga kerja bebas atau buruh sektor pertanian atau
non-pertanian (industri). krisis pangan dan energi global telah menjadi entry point bagi
peluang investasi di kedua sektor tersebut. Elite pemerintah menanggapi
peluang tersebut dengan memberi konsensi-konsensi perkebunan skala
raksasa. Hal tersebut mengingatkan kita pada pengelolaan sumber daya
alam era kolonial yang memakan banyak korban jiwa dengan tanam paksa dan
pembukaan pertanian/perkebunan skala luas.
Permasalahan-permasalahan tersebut seakan memberi peringatan bagi
pimpinan nasional untuk segera menyelesaikan segala krisis agraria yang
menyebabkan konflik-konflik agraria, ketimpangan struktur agraria dan
hancurnya tenaga produktif petani. Konflik agraria justru akan semakin
membakar radikalisasi gerakan kaum tani yang mendorong lahirnya
konflik-konflik agraria. Di tengah ancaman krisis pangan dunia,
Indonesia harus cermat menempatkan diri sebagai negeri agraris yaitu
dengan memperbesar kemungkinan dilakukannya produksi pertanian menuju
gudang pangan dunia. Yang tak kalah penting dari hal tersebut adalah
memberikan akses bagi petani terhadap sarana prosuksi berupa tanah dan
air, hal tersebut tentu sinergis dengan penyediaan lapangan kerja yang
dapat menghidupkan gairah ekonomi pedesaan. Situasi-situasi tersebut
menempatkan reforma agraria sebagai sebuah tawaran jalan keluar, sebagai
salah satu kebijaksanaan dan menunjukan reforma agraria semakin relevan
terhadap perkembangan zaman. Perombakan struktur penguasaan dan
kepemilikan agar lebih berpihak pada petani penggarap, dengan disertakan
program penunjang yang mendorong pembangunan infrastruktur dan
industrialisasi, akan menjadikan fondasi ekonomi nasional menjadi kuat.
Semoga dengan semangat hari tani 24 september kali ini Reforma Agraria
tidak hanya dijadikan peringatan kemudian diabaikan. Reforma Agraria
mengusik nurani patriotik kebangsaan kekinian hingga terasa makin
dibutuhkan.
Posting Komentar