Headlines News :
Home » » KONFLIK PETANI DENGAN PERHUTANI (STUDI KASUS DI DESA GENTENG KECAMATAN SUKASARI KABUPATEN SUMEDANG)

KONFLIK PETANI DENGAN PERHUTANI (STUDI KASUS DI DESA GENTENG KECAMATAN SUKASARI KABUPATEN SUMEDANG)

Written By Reforma Agraria on Minggu, 31 Maret 2013 | 20.32


*Andri Parangin-angin; Artikel penelitian Mmhasiswa Atropologi Fisip Unpad angkatan 2007

ABSTRAK
Penelitian ini mengenai konflik agraria yang terjadi antara petani dengan Perhutani di Desa Genteng. Dalam penelitian ini dijelaskan sejarah konflik dan proses perkembangan konflik serta faktor-faktor penyebab konflik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat Desa Genteng dan bentuk-bentuk konflik yang ada di Desa Genteng. Metode penlitian ini adalah studi kasus yang menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan selama dua setengah bulan, yaitu mulai dari awal bulan Oktober sampai pada akhir bulan Desember. Lokasi penelitian terletak di Desa Genteng Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Bedasarkan temuan penelitian, konflik yang terjadi diakibatkan oleh  perbedaan kepentingan lahan antara petani Desa Genteng dengan Perhutani. Petani yang menginginkan lahan Perhutani dikelola, khususnya pengelolaan secara intensif yang dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Berbeda dengan Perhutani, mereka ingin menjaga hutan agar tetap lestari demi generasi yang akan datang. Perhutani juga tidak ingin kerusakan hutan yang ada di Timur Manglayang semakin rusak parah karena bisa berdampak pada orang lain, seperti banjir atau erosi tanah. Dalam masyarakat petani Desa Genteng konflik sudah berlangsung sejak tahun 1982. Konfliknya ada yang berlangsung secara damai dan ada juga yang berujung pada kerusuhan. Kondisi petani di Desa Genteng kebanyakan tidak bertanah dan menggunakan alat pertanian yang sangat sederhana. Para petani yang ada di Desa Genteng menggarap lahan Perhutani hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Petani berani menggarap lahan Perhutani tidak terlepas dari peran kelompok tani. Dalam kelompok tani sering dilakukan diskusi sehingga pengetahuan mereka bertambah khususnya dalam politik dan hukum. Petani malah menuntut kepada pemerintah agar landreform dijalankan. Sekarang telah dibentuk kelompok kecil untuk mencari solusi yang terbaik.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah petani yang ada di Desa Genteng membutuhkan tanah untuk bertani karena mereka hanya punya kamampuan bertani untuk menyambung hidup. Perhutani juga tanggung jawab untuk menjaga hutan agar tetap lestari. Kedua kepentingan ini menjadikan sebuah konflik antara petani yang ada di Desa Genteng dengan Perhutani.
Kata kunci : konflik, landreform, kelompok tani, faktor konflik, bentuk konflik, ekonomi petani.
     
PENDAHULUAN
            Penelitian ini adalah studi kasus sengketa lahan antara petani dan Perhutani yang ada di Desa Genteng, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Genteng adalah bertani. Layaknya seorang petani untuk meningkatkan perekonomiannya, maka tanah sangat dibutuhkan. Begitu juga dengan petani di Desa Genteng, mereka juga butuh tanah untuk dikelola. Bukan hanya tanah saja yang mereka butuhkan, modal, teknologi juga mereka butuhkan.
      Tanah adalah aset yang paling penting dalam kehidupan masyarakat karena tanah adalah sumber kehidupan. Dalam negara agraris tanah merupakan sumber utama dalam berproduksi sehingga di Indonesia dalam hak kepemilikan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dibatasi dalam undang-undang pokok agraria. Sebagian besar petani di Indonesia adalah buruh tani dan petani gurem atau sering disebut sebagai Peasant bukan farmer (Noertjahyo,2005: 14). Peasant merupakan petani yang bercocok tanam dan berternak di daerah Pedesaan, sedangkan farmer merupakan pengusaha pertanian yang mengambil keuntungan dari hasil penjualan produksinya di pasar (Wolf Eric,1985: 2). Secara ekonomi, Wolf mengatakan, petani merupakan produsen utama kekayaan sosial dan masyarakat yang lain hanya menduduki posisi sekunder (1985: 17). Masyarakat petani yang ada di Desa Genteng masih bercocok tanam dan beternak dengan skala yang kecil.
Sengketa tanah yang terjadi di Desa Genteng antara petani dan Perhutani terjadi karena pendudukan lahan yang dilakukan oleh petani di lahan Perhutani. Masyarakat yang membutuhkan tanah memanfaatkan lahan dari Perhutani. Sementara Perhutani ingin melakukan konservasi hutan agar sumber airnya tidak kekeringan. Musyawarah yang dilakukan belum menemukan solusi sehingga permasalahannya telah sampai pada pemerintah Kabupaten Sumedang. Bagi masyarakat petani Desa Genteng jaminan atas tanah tertuang dalam UU Pokok Agraria. Undang-undang ini dibuat untuk memberikan tanah kepada masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Di lain pihak UU Kehutanan merupakan salah bentuk jaminan bagi Perhutani untuk melakukan konservasi hutan. Hal ini membuat banyak petani Desa Genteng tergusur dari tanah yang sedang dia kelola untuk menyambung hidup.   

METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
1.      Metode Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan penelitian ini, metode pengumpulan data yang dipakai secara umum merujuk kepada bentuk penelitian kualitatif berorientasi etnografis. Orientasi etnografis dilaksanakan karena dirasa adanya sesuatu yang penting dalam melihat konteks sosio-kultural yang menjembatani hubungan-hubungan antar konsep yang sekiranya berguna untuk menjawab pertanyaan penlitian. Selain itu etnografi juga akan membantu melihat kepemilikan tanah dalam masyarakat Genteng.
2.      Teknik pengumpulan Data
     Dalam penelitian ini, data diperoleh langsung dari informan (sebagai data primer). Teknik pengumpulan data primer adalah  observasi dan wawancara. Selain data primer, data juga diperoleh melalui beberapa referensi buku, media-media informasi lainnya (data sekunder). Data sekunder diperoleh dari lembaga resmi seperti Kantor Kecamatan, Kantor Desa, Kepala Dusun. Untuk mengumpulkan data dilakukan dengan kegiatan :
2.1  Observasi / pengamatan
Observasi merupakan pengamatan terhadap fenomena yang dapat dilihat secara langsung sebagai pelengkap data yang diperoleh. Metode pengamatan digunakan untuk memahami gejala-gejala yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari individu yang diteliti untuk dicocokan relevansi atau kebenarannya dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara. Salah satu kegunaan metode pengamatan adalah untuk mendeskripsikan perilaku manusia, proses kerja dan gejala-gejala alam (Sugiyono,2006:162).
Observasi yang akan digunakan adalah observasi partisipasi. Observasi partisipasi melibatkan keikutsertaan peneliti dengan individu yang diobservasi atau komunitas. Di dalam observasi partisipasi hubungan antara peneliti dengan komunitas baru yang akan diobservasi harus dibangun dengan baik agar data yang diperoleh lebih lengkap dan tajam (Sugiyono, 2006: 162). Observasi dilakukan untuk melihat kondisi lahan pertanian, tempat tinggal penduduk, aktivitas sehari-hari dan gambaran umum ekonomi penduduk yang ada di Desa Genteng.
2.2  Wawancara
Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan dari wawancara adalah untuk mendapatkan informasi dari orang yang diwawancarai melalui pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh informan. Dalam mempersiapkan informan, ada tiga (3) hal yang harus diperhatikan yaitu, pertama seleksi individu yang akan diwawancara, kedua pendekatan terhadap individu yang akan diwawancara dan yang ketiga adalah pengembangan suasana yang wawancara sehingga menimbulkan saling pengertian antara peneliti dan yang diwawancarai (Koentjaraningrat,1977: 163)  
Dalam penelitian ini ada 6 orang informan dan informan tersebut dibagai menjadi dua yaitu, informan kunci dan informan utama. Informan kunci adalah individu yang bisa membuka pintu untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti (Sugiyono, 2006). Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah petani Desa Genteng yang menggarap lahan Perhutani dan sebagai informan utamanya adalah  Kepala Desa. Selain informan tersebut ada informan ahli yang diwawancarai untuk melangkapi data. Contohnya adalah pakar agraria dan orang-orang yang telah lama bergerak dibidang agraria seperti KPA, LSM dan organisasi Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM).
2.3  Studi kepustakaan
Studi kepustakaan diperlukan untuk memanfaatkan data sekunder, seperti data yang berasal dari buku dan bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Studi kepustakaan ini juga untuk mempercepat pemahaman tentang kondisi lapangan penelitian, sekaligus mempertajam analisa, studi kepustakaan dilengkapi dengan riset data sekunder. Sumber data sekunder masyarakat terdiri dari arsip data desa, data pemerintah, dan bahan-bahan yang dipublikasikan lainnya.
2.4  Diskusi kelompok
Diskusi kelompok digunakan selama penelitian. Diskusi kelompok berfokus pada reforma agraria yang tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria. Diskusi dilakukan bersama dengan masyarakat Genteng dan para perangkat desa. Diskusi kelompok bertujuan bukan untuk mendapatkan data pokok, melainkan untuk membangun kedekatan dengan masyarakat yang diteliti agar tidak muncul kecurigaan saat penelitian berlangsung.

Hasil Lapangan
Data Umum
1.    Keadaan Sosial
a.       Desa Genteng merupakan salah satu Desa yang terlibat konflik dengan Perhutani yang ada di Sumedang. Jarak tempuh Desa Genteng dari  Jatinangor sekitar 45-60 menit.
b.      Jumlah penduduk di Desa Genteng adalah 6042 jiwa. Mata pencaharian utama penduduk tersbut adalah bertani. Selain itu ada juga yang menjadi PNS, TNI/POLRI dan berdagang.
c.       Pendidikan di Desa Genteng termasuk rendah karena yang masuk perguruan tinggi hanya 4,7%, sedangakan yang tamat SD sebesar 77%.
d.      Kondisi pertanian di Desa Genteng cukup beragam, yaitu tembakau, kopi, kentang, kol, terong, cabai, kacang panjang dan jagung. Komuditas utamanya adalah tembakau. Petani yang ada di Desa Genteng terbagi dua yaitu  petani yang bertanah dan yang tidak bertanah (buruh tani).    
2.    Sistem budaya
a.       Organisasi formal:
-          RT/RW (Rukun Tetangga dan Rukun Warga)
-          Posyandu
b.      Organisasi non-formal:
-          Kelompok tani


PEMBAHASAN
KEBIJAKAN PERUNDANG-UNDANGAN
            Konflik yang terjadi di Desa Genteng merupakan tanggung jawab dari pemerintah. Dengan Sistem perundang-udangan sekarang pemerintah pusat maupun daerah harus mengguakan asas Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 45 sebagai landasan konstitusionalnya. Berdasarkan UUD 45 pasal 33 ayat 3 bahwa bumi dan air dikuasai oleh negara dan harus dikelola untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
            Dengan demikian maka lahirlah UU PA yang bertujuan untuk membagikan tanah kepada masyarakat petani tanpa terkecuali.  Melalui UU ini pemerintah bisa menyelesaikan konflik yang terjadi di Desa Genteng. Selain itu ada beberapa UU yang baru dan bisa menjadi penguat pemerintah khususnya pemerintah daerah. Adapun UU tersebut adalah:
            Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
            Dalam undang-undang ini pasal 10 ayat (3) yang menjadi urusan pemerintah pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Di luar dari yang disebutkan tadi merupakan kewenangan daerah. Ini merupakan angin segar bahwa untuk menjalankan reforma sangat terbuka jelas karena menyangkut potensi daerah terutama yang daerah pertanian.
Undang-undang No.25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Pada pasal 3, koperasi bertujuan untuk mensejahterakan anggota secara khususnya dan masyarakat pada umunya. Selain itu koperasi juga bertujuan untuk membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan pancasila dan UUD 1945. Di dalam koperasi petani bisa meminjam modal yang memiliki bunga rendah dan bisa membagi hasil diakhir tahun sesuai dengan pasal 45 ayat 2. Hal ini menghindari petani dari rentenir yang bisa menjerat ekonomi mereka.
Penyelesaian Sengketa Agraria Di Desa Genteng
Dalam penyelsaian kasus sengketa lahan yang ada di Desa Genteng ada dua caranya, yaitu yang pertama adalah menjalankan landreform. Bila memang landreform menjadi solusi yang akan dijalankan oleh pemerintah maka ada hal yang harus diperhatikan yaitu kondisi hutan. Hutan yang semakin tergerus ekologinya menjadi pertimbangan utama agar tidak terjadi banjir disaat musim hujan dan kekeringan di saat kemarau.  
Kedua adalah petani yang ada di Desa Genteng terkhusus yang berkaitan langsung dengan konflik bisa dialih profesikan. Selama ini masyarakat hanya berfokus pada pertanian dan membuat kebutuhan lahan juga sangat tinggi. Dengan pengembangan potensi yang dimiliki oleh masyarakat maka ketergantungan terhadap lahan juga semakin berkurang sehingga konflik antara petani dengan Perhutani dapat diselesaikan. 
Kesimpulan
            Penelitian tentang konflik petani dengan Perhutani 2012 merupakan salah bagian konflik agraria yang ada di tanah air. Konflik ini menunujukkan kepada kita bahwa selama ini kehidupan petani sangat terpinggirkan dan tidak mendapatkan dari permerintah. Penelitian ini menggambarkan hubungan antara petani dengan lembaga Perhutani yang memiliki kepentingan terhadap hutan. Di sisi lain peran organisasi juga sangat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam memberikan pencerdasan politik. Hasilnya petani memiliki keberanian untuk menuntut pemerintah agar tanah dibagikan kepada rakyat sesuai yang tertuang dalam UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960. Adanya pengetahuan baru yang berasal dari organisasi membuat petani merasa punya landasan hukum untuk menuntut haknya.
Tanah yang dikelola oleh petani merupakan kawasan hutan yang dikuasai oleh Perhutani. Permasalahan muncul ketika Perhutani melarang masyarakat untuk bercocok tanam di area tersebut. Bagi Perhutani kawasan tersebut tidak boleh lagi ditanami karena sudah menjadi hutan lindung, tetapi disisi lain masyarakat harus tetap bertahan hidup dengan cara bertani. Pihak Perhutani tetap bertahan karena alasan ekologi hutan yang harus tetap dijaga. Perhutani takut bila hutan dikelola secara intensif akan membuat kerusakan hutan semakin parah. Akibatnya pada saat musim kemarau air bisa habis dan pada musim hujan bisa mengakibatkan banjir. Permasalahan ini akhirnya muncul kepermukaan saat masyarakat petani melakukan aksi demontrasi kepemda Sumedang. Masyarakat yang telah terorganisir mendatangi kantor bupati dan menuntut pemerintah agar menjalankan landreform.
            Kelompok tani memberikan sebuah harapan baru kepada petani, terutama mereka yang tidak punya tanah. Mereka menuntut supaya agenda reforma agraria dijalankan karena ada keinginan kehidupan yang lebih baik lagi. Kehidupan yang selama ini sudah sangat jauh dari harapan ingin diubah dengan adanya UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960 yang mereka dapatkan dari organisasi tani. Di organisasi mereka dapatkan cara-cara untuk melakukan aksi, menulis dan bermusyawarah. Coser mengatakan konflik akan membuat solidaritas kelompok akan semakin meningkat. Pada kenyataannya para petani brsatu melawan pemerintah karena hak mereka sebagai warga negara tidak diberikan. Petani seharunya mendapatkan tanah sesuai yang diatur dalam UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960 malah tergusur tanpa ada alokasi yang jelas.  


DAFTAR PUSTAKA
Bachriadi, Dianto dan Lucas, Anton, 2001. Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan.  Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta.
Coser, Lewis A. 1957. “Social Conflict and The Theory Of Social Change, dalam The British Journal Of Sociology, Vol.8. No.3,pp:197-207.
Dahrendrof, Ralf, penerjemah, Mandan, Ali. 1986. Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri. Rajawali Press, Jakarta.
Fauzi, Noer. 2003. Bersaksi Untuk Pembaharuan Agraria. Insist Press Printing, Yogyakarta.
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian, proses perubahan ekologi di Indonesia. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Ihromi, T.O. 1984. Antropologi dan Hukum, PT Midas Surya Grafindo, Jakarta.
Klinken, G. Van. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT Gramedia, Jakarta.
Mubyarto, 1983. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Mulyanto, Dede. 2011. Antropologi Marx, Karl Marx Tentang Masyaraka dan Kbudayaan. Ultimus, Bandung.
Napiri, Yusup dkk. 2006. Reforma Agraria:Kepastian Yang Harus Dijaga. Koalisi rakyat untuk kedaulatan pangan (KRKP), Bogor.
Noertjahyo, JA. 2005. Dari Ladang Sampai Kabinet,menggugat nasib petani. Buku Kompas, jakarta.
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forerest, Poor People. Resource control and resistance in java. The Regents Of The University Of California.
Santoso, Slamet. 2004. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara, jl. Sawo Raya, Jakarta.
Soekarno, 1986. Amanat Proklamasi III 1956-1960. Inti Idayu Press dan Yayasan pendidikan Soekarno.
Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung.
Suyanto, Bagong. 2011. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Prenada Media. Jakarta Timur.
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Berakhir. Insist Press Printing, Yoyakarta.
Wolf, Eric. 2004. Perang petani. Insist Press Printing, Yogyakarta.
Wolf, Eric. 1983. Petani, suatu Tinjauan Antropolgis. CV. Rajawali, jl. Pelepah Hijau, Kelapa Gading, Jakarta.

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Reforma Agraria - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger